Pakubuwana XI

Pakubuwana XI
ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧑꧑꧇
Sri Susuhunan Pakubuwana XI
Pakubuwana XI dengan permaisurinya
Susuhunan Surakarta ke-10
Berkuasa1939 – 1945
PendahuluSusuhunan Pakubuwana X
PenerusSusuhunan Pakubuwana XII
Gubernur JenderalA.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer
Gubernur Militer JepangHitoshi Imamura
Kumakichi Harada
Yuichiro Nagano
Informasi pribadi
Kelahiran(1886-02-01)1 Februari 1886
Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda
Kematian1 Juni 1945(1945-06-01) (umur 59)
Jepang Surakarta, Pendudukan Jepang di Hindia Belanda
Pemakaman
Astana Girimulya, Imogiri, Bantul, Yogyakarta
WangsaMataram
Nama lengkap
Gusti Raden Mas Antasena
Nama takhta
Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Sewelas ing Nagari Surakarta Hadiningrat
AyahSusuhunan Pakubuwana X
IbuKRAy. Mandayaretna
PasanganGKR. Kencana
GKR. Pakubuwana
KRAy. Dayaresmi
KRAy. Dayaningsih
KRAy. Dayasuma
KRAy. Dayaasmara
KRAy. Dayaningrat

Sri Susuhunan Pakubuwana XI (sering disingkat sebagai PB XI; 1 Februari 1886 – 1 Juni 1945) adalah susuhunan Surakarta yang memerintah pada tahun 19391945.

Riwayat Pemerintahan

Nama aslinya adalah Raden Mas Ontoseno, merupakan putra sulung Pakubuwana X dari istri selir KRAy. Mandayaretna. la dilahirkan pada Senin Kliwon, 1 Februari 1886, dan setelah dewasa bergelar KGPH. Hangabehi. Ia naik takhta sebagai Pakubuwana XI pada tanggal 26 April 1939.

Pengangkatan KGPH. Hangabehi menjadi Pakubuwana XI bukanlah tanpa konflik. Pasalnya, Pakubuwana X cenderung lebih memilih KGPH. Kusumayuda (GRM. Abimanyu), adik Hangabehi, untuk menggantikannya. Apalagi di mata Pemerintah Hindia Belanda, Kusumayuda dianggap merupakan bangsawan Jawa yang berkepribadian kuat, mandiri, serta tertarik pada persoalan keuangan dan administrasi keraton. Di sisi lain, posisi Hangabehi juga sangat kuat, terutama dukungan mayoritas elite keraton yang anti-Belanda. Pakubuwana X sendiri memiliki putra dan putri lebih dari 60 orang. Masalah yang mengganjal ialah bahwa Pakubuwana X tidak memperoleh putra dari kedua permaisurinya. Dua putra Pakubuwana X yang tertua, Hangabehi dan Kusumayuda, lahir dari selir. Sebenarnya pada tahun 1898 Pakubuwana X sudah berniat mengangkat Kusumayuda sebagai putra mahkota meski usianya 40 hari lebih muda dari Hangabehi. Sampai akhirnya keinginan Pakubuwana X itu diurungkan, dan ia lebih memilih Hangabehi untuk menjadi pewaris tahta.

Hangabehi kemudian diberikan sejumlah posisi penting, di antaranya menjabat sebagai Wedana Tengen (jabatan setingkat Pangageng Putra Sentana), serta memperoleh kepercayaan sesoeratman, sebagai Wakil Ketua Raad Nagari, sebuah dewan pertimbangan kerajaan. Hangabehi juga diutus Pakubuwana X untuk menghadiri undangan peringatan 40 tahun kenaikan tahta Ratu Wilhelmina di Belanda.

Pada akhir bulan November 1938, Pakubuwana X sakit keras dan akhirnya wafat pada Februari 1939. Atas nasihat Den Haag, Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer memilih KGPH. Hangabehi untuk menggantikan ayahnya sebagai Pakubuwana XI. Pengangkatan Hangabehi disertai dengan kontrak politik yang menurunkan kewibawaan susuhunan. Dalam kontrak politik itu disebutkan bahwa Hangabehi bisa diturunkan dari kedudukannya jika ternyata tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam kontrak politik plus pemotongan anggaran belanja keraton secara drastis.

Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia Kedua. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak Jepang menyebut Kasunanan Surakarta dengan nama Solo Koo. Pada masa pendudukan Jepang terjadi inflasi yang mengakibatkan keuangan keraton dan para bangsawan amat menderita. Jepang juga merampas sebagian besar kekayaan keraton dan aset-aset Kasunanan Surakarta, hingga akhirnya Pakubuwana XI jatuh sakit. Pakubuwana XI kemudian wafat pada 1 Juni 1945, ia digantikan oleh putranya yang masih berusia sangat muda sebagai Pakubuwana XII.

Silsilah

Sri Susuhunan Pakubuwana XI bersama GKR. Pakubuwana saat meresmikan sekolah HBS di Surakarta (sekitar tahun 1940-1942).
  • Anak laki-laki pertama dari Susuhunan Pakubuwana X dan istri selir KRAy. Mandayaretna.
  • Memiliki dua istri permaisuri:
  1. GKR. Kencana (wafat sebelum Pakubuwana XI naik tahta)
  2. GKR. Pakubuwana
  • Memiliki lima istri selir:
  1. KRAy. Dayaresmi
  2. KRAy. Dayaningsih
  3. KRAy. Dayasuma
  4. KRAy. Dayaasmara
  5. KRAy. Dayaningrat.
  • Memiliki enam putra:
  1. KGPH. Mangkubumi
  2. KGPH. Hangabehi
  3. KGPH. Prabuwijaya
  4. GPH. Bintara
  5. GPH. Natapura
  6. KGPH. Purbaya (naik tahta sebagai Susuhunan Pakubuwana XII)
  • Memiliki lima putri:
  1. GKR. Ayu
  2. GKR. Bendara
  3. GKR. Candrakirana
  4. GRAy. Kusumadartaya
  5. GKR. Kedaton

Falsafah hidup

Pakubuwana XI sering mengemukakan falsafah hidup yang disebutnya Tiji-Tibeh. Falsafah ini merupakan kepanjangan dari pernyataan mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh. Pernyataan ini berarti mati satu mati semua, kaya satu kaya semua. Falsafah ini berkaitan dengan nilai kebersamaan yang diterapkannya dalam Kesunanan Surakarta Hadiningrat.[1]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Jati, B. M. E., dan Pryambodo, T. K. (2015). Maya, ed. Kewirausahaan: Technopreneurship untuk Mahasiswa Ilmu-ilmu Eksakta. Yogyakarta: Penerbit ANDI Yogyakarta. hlm. 11. ISBN 978-979-29-5138-7.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)

Daftar pustaka

  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

Pranala luar

  • (Indonesia) [1]
  • (Indonesia) [2]

Lihat pula

Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Susuhunan Pakubuwana X
Susuhunan Surakarta
1939-1945
Diteruskan oleh:
Susuhunan Pakubuwana XII
  • l
  • b
  • s

Pakubuwana II
PB II
(1745–1749)

Pakubuwana III
PB III
(1749–1788)

Pakubuwana IV
PB IV
(1788–1820)

Pakubuwana V
PB V
(1820–1823)

Pakubuwana VI
PB VI
(1823–1830)

Pakubuwana VII
PB VII
(1830–1858)

Pakubuwana VIII
PB VIII
(1858–1861)

Pakubuwana IX
PB IX
(1861–1893)

Pakubuwana X
PB X
(1893–1939)

Pakubuwana XI
PB XI
(1939–1945)

Pakubuwana XII
PB XII
(1945–2004)

Pakubuwana XIII
PB XIII
(2004–sekarang)